11 Desember 2019
SUMARTONO "Pejuang Lingkungan Pantai Pesisir Selatan"Sekilas pandang di ujung daratan paling selatan di Kabupaten Bantul Di tahun 1980an
Kondisi tanah berpasir dan sulit ditanami Tiada tanaman
Ketika kemarau angin bertiup sangat kencang
Gumuk-gumuk pasir berpindah-pindah
Dan kaki–kaki sakit terkena terpaan angin dan pasir
Itulah gambaran tentang kondisi lokasi Pantai Goa Cemara di tahun 1985 yang menjadi perhatian serius Sumartono. Berbeda dengan Pantai Goa Cemara saat ini yang sudah menjadi obyek wisata alam yang banyak dikunjungi wisatawan. Bagaimanakah perjuangan menghijaukan wilayah pesisir pantai selatan hingga menjadi lokasi wisata Pantai Goa Cemara? Tentu merupakan bagian kisah dalam sejarah kehidupan PKSM dari Kabupaten Bantul ini. Sumartono, “Pejuang Lingkungan di Pesisir Selatan” lahir di Bantul pada 12 Juli 1968, berdomisili di Desa Gadingsari, Kecamatan Sanden. Daerah ini terletak di ujung daratan paling selatan di Kabupaten Bantul, yang merupakan pantai bertanah pasir.
“Saya sangat memikirkan bagaimanakah caranya untuk dapat menanami lahan pantai, biar ada tanaman yang dapat menghambat laju kecepatan angin di lokasi ini”. Menurut Sumartono, sifat-sifat tanah berpasir ialah tidak dapat menyimpan air maupun unsur-unsur hara yang begitu pentinya untuk kebutuhan pertumbuhan tanaman. Oleh karenanya tanah berpasir sulit untuk ditanami. “Sebelum 1980an belum ada penghijauan di pantai sehingga jika berjalan di pantai pada musim kemarau angin kencang, maka kaki kita sakit terkena terpaan angin dan pasir” ungkap Martono. Kondisi tersebut juga berimbas pada sulitnya tanaman sayuran untuk tumbuh.
Perjuangan Menghijaukan Pantai
Sumartono dan kelompoknya terus berusaha mencari cara agar lokasi di bibir pantai dapat ditumbuhi tanaman. “Penghijauan harus disosialisasikan agar tiap individu itufaham tentang pentingnya pelestarian lingkungan untuk kehidupan manusia. Kita harus menyadari juga panas global didukungkarena sangat kurangnya penghijauan dimuka bumi ini”, ungkapnya. Pada tahun 1985, Kelompok Tani Raharjo, dimana Sumartono ketika itu merupakan salah seorang anggotanya, memiliki program penanaman berbagai jenis tanaman yang dapat tumbuh di bibir pantai. Harapannya tanaman dapat berfungsi sebagai “wind barrier” atau penahan angin agar tanaman pertanian masyarakat di sekitarnya dapat tumbuh. Sumartono beserta anggota kelompok lainnya mencoba menanam berbagai jenis bibit tanaman. Diawali dengan menanam bibit jambu mete seluas 84 ha. Tetapi karena medan yang sangat ekstrim maka tanaman tersebut hanya dapat hidup seluas 43 Ha. “Perjalanan menghijauakan lahan pasir sangat membutuhkan kesabaran dan keuletan karena tidak mulus langsung sekian tahun dapat sekian hektar”, katanya. Meskipun jauh dari harapan, namun Sumartono dan masyarakat lainnya tidak putus asa. Pada tahun 1987 dicoba menanam tanaman pandan karena pada waktu itu hanya pohon pandanlah yang dapat hidup di daerah ekstrim tersebut. Penanaman pandanpun tidak berhasil juga karena tanaman tidak bisa tinggi sehingga tidak dapat berfungsi sebagai “wind barrier”. Kegiatan uji coba penanaman terus dilakukan dengan penanaman akasia, itupun gagal.
Unduh Lampiran : Lampiran
© 2024 Pusluh